Rabu, 03 Maret 2010

artiket tentang nikah siri


Kementrian Agama menyerahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang di dalamnya mengatur nikah siri, poligami, dan kawin kontrak. Pelaku nikah siri akan dikenakan sanksi berupa ancaman pidana 3 bulan dan denda maksimal 5 juta.

Sanksi pidana ini mendatangkan respons dari berbagai pihak. Majelis Ulama Indonesia menyepakati sanksi pidana, sedangkan Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui adanya sanksi bagi pelaku pernikahan siri, tetapi bentuknya hukuman perdata. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) belum memberikan rumusan resmi terkait dengan sanksi hukum ini.

Namun menurut Komisioner Komnas Perempuan Neng Dara, lembaga independen ini sudah melakukan kajian tentang pentingnya pencatatan pernikahan sejak 2007. Banyaknya pihak yang dirugikan dari perkawinan tidak tercatat atau tanpa legalisasi menjadi latar belakang kajian ini.

"Perempuan dan anak adalah pihak yang menjadi korban dari pernikahan yang tidak tercatat menurut aturan hukum. Pencatatan pernikahan punya banyak manfaat, karena adanya bukti tertulis jika bicara Undang-undang negara dan hak warga negara. Namun tidak semua warga negara memiliki tanggung jawab. Jika pernikahan tidak tercatat, kemudian suami meninggalkan istri, pihak perempuan yang ingin menuntut nafkah anak atau kewajiban lain dari suami akan mengalami kesulitan karena tidak bisa dibuktikan tanpa catatan pernikahan," papar Neng Dara kepada Kompas Female.

Dengan pernikahan siri, posisi perempuan semakin tersudut. Jika pada perjalanannya, pernikahan mengalami masalah atau terjadi KDRT dengan kebanyakan perempuan sebagai korban, akan sulit untuk mengajukan tuntutan. Jika terjadi pengabaian terhadap istri dan anak, pihak perempuan juga tidak memiliki bukti kuat lantaran pernikahan tidak dicatatkan.

kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar